Apakah Anda sudah tahu kepanjangan mudik? Kata mudik sering terdengar menjelang lebaran tiba. Bahkan pada awal masuk bulan puasa orang sudah ramai memperbincangkan mudik, khususnya mereka yang merantau di kota-kota besar.
Walaupun kata mudik sudah sering terdengar, namun ternyata mudik berasal dari singkatan kata yang orang jarang tahu.
Ada dua versi kepanjangan mudik, versi Jawa dan Betawi:
1. Kepanjangan mudik versi Jawa
Dalam versi Jawa, istilah mudik singkatan dari “mulih dhilik” atau “ mulih dhisik” yang artinya pulang sebentar atau pulang dulu. Mudik adalah kembalinya para perantau ke tempat asalnya beberapa hari setelah beberapa lama bekerja di tempat lain.
Walaupun istilah mudik berlaku kapan saja, namun mudik yang paling populer dilakukan saat menyambut lebaran idul fitri. Momen ini sering dimanfaatkan para perantau untuk berkumpul bersama keluarganya di kampong asal.
Ketika perekonomian di Indonesia mulai membaik pada tahun 1970an terutama di kota-kota besar, banyak perusahaan-perusahaan baru berdiri yang tentunya membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Sedangkan pasokan tenaga kerja setempat tidak mencukupi. Hal inilah yang membuat mereka mencari tenaga kerja dari desa-desa.
Akibatnya timbul arus urbanisasi, orang-orang dari desa banyak yang ramai-ramai pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Apalagi ketika melihat dan mendengar kesuksesan orang yang telah merantau ke kota besar.
Masyarakat dari berbagai penjuru desa dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara hingga Papua banyak menyerbu kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan untuk mengadu nasib dalam upaya memperbaiki kehidupan yang lebih baik.
Diantara perantau banyak yang sukses dan kehidupannya semakin baik. Walaupun sudah sukses di kota besar, rasa kangen kepada kampung halaman pasti ada. Oleh karena itu mereka menyempatkan untuk pulang beberapa saat ke kampong untuk melepas rindu kepada kampong halaman dan sanak keluarga. Inilah yang dinamakan mudik.
2. Versi Betawi
Sedangkan dalam versi Betawi, istilah mudik berasal dari kata “Udik”. Kata udik, dalam istilah betawi artinya hulu/selatan, lawan dari “ilir” yang berarti hilir/utara. Oleh karena itu, ada beberapa tempat di Jakarta yang namanya berpasangan, seperti Sukabumi udik, Sukabumi ilir, Meruya Udik, Meruya Ilir dan yang lainnya.
Pada jaman penjajahan dulu, pemerintah Hindia Belanda mengambil pasokan hasil bumi dari wilayah Batavia (nama Jakarta dulu) Selatan. Maka dari itu, banyak nama-nama tempat di daerah Jakarta bagian selatan yang identik dengan pertanian, seperti: Kebon Kopi, Kebon Pala, Kebon Nanas, Kebon Jeruk, Kemanggisan, Duren Sawit, Pondok Kelapa dan masih banyak lagi.
Para petani dan pedagang membawa pasokan hasil bumi melalui sungai dari bagian selatan Jakarta ke bagian pusat, barat, timur dan utara. Dari aktivitas inilah muncul istilah ‘hilir mudik” yang artinya “Bolak-balik”. Para petani dan pedagang melakukan mudik, saat mereka pulang ke rumahnya setelah selesai menjual dagangannya di kota.
Itulah sejarah dan kepanjangan mudik yang mungkin belum Anda ketahui. Dan mudik sekarang menjadi tradisi besar yang memiliki efek positif bagi perekonomian. Berbagai kegiatan ekonomi tumbuh dari tradisi ini, seperti ramainya bisnis armada, otomotif, kuliner dan lain-lain.
Namun efek negatif ada juga, yaitu meningkatnya angka kecelakaan dan kejahatan saat mudik. Oleh karena itu, pemerintah dan elemen masyarakat lain berusaha meminimalisir efek negatif dari mudik ini.
Beberapa hal yang dilakukan antara lain dengan memperbaiki jalan-jalan, fasilitas peristirahatan dan ibadah serta menyediakan armada yang layak untuk mudik gratis. Adapun untuk menekan angka kejahatan, dibuatlah posko-posko di beberapa tempat rute mudik dan himbauan-himbauan agar berhati-hati ketika mudik.
Semua itu agar masyarakat tetap nyaman dalam melakukan mudik dan menjalankan ibadah pada bulan puasa.
Bagi Anda yang merencanakan mudik lebaran tahun ini, tetap hati-hati dan jaga kesehatan, agar perjalanan mudik Anda selamat sampai kampong halaman dan bertemu dengan sanak keluarga.