Puasa bulan Muharram tanggal berapa saja? Berapa hari puasa sunnah bulan Muharram? Banyak pertanyaan yang muncul menjelang datangnya bulan Muharram, khususnya masalah puasa di bulan Muharram. Hal ini tidak mengherankan, mengingat puasa dibulan Muharram adalah ibadah puasa paling utama setelah puasa Ramadhan.
Berbeda dengan artikel-artikel sebelumnya, artikel Elfaaza Media kali ini akan membahas seputar bulan Muharram, puasa di bulan Muharram, dalil-dalil dan keutamaan bulan Muharram. Hal ini dalam rangka mengagungkan bulan mulia ini, dan mempersiapkan diri dengan ilmu sebelum melakukan amalan-amalan bulan Muharram. Sebagaimana kata Al Imam al Bukhari:
“Ilmu Sebelum berkata dan beramal”
Sebelum menjawab pertanyaan terkait dengan puasa sunnah bulan Muharram, ada baiknya kita mengetahui keutamaan bulan Muharram dalam Islam.
Dalil-Dalil Keutamaan Bulan Muharram
Terdapat beberapa dalil yang menjelaskan keistimewaan bulan Muharram, baik dari Alqur’an maupun hadits shahih serta perkataan para sahabat, diantaranya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS At-Taubah: 36)
Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
… السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان
“Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan, yaitu: Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Al-Muharram, serta RajabMudhar yang terletak antara Jumada dan Sya’ban.” (HR Al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679/4383)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling afdhol setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharram” (HR. Muslim no. 1982)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
…فَجَعَلَهُنَّ حُرُماً وَعَظَّمَ حُرُمَاتِهِنَّ وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ، وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ وَاْلأَجْرُ أَعْظَمُ.
“…Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.”(Tafsir Ibnu Abi Hatim VI/1791)
Abu Utsman an-Nahdi berkata: “Adalah para salaf mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram”.
(Lathoiful Ma’arif hal.80)
Puasa Sunnah Di Bulan Muharram
Setelah mengetahui dalil-dalil tentang keutamaan bulan Muharram menurut sunnah, sekarang kita akan membahas masalah yang paling sering ditanyakan yaitu puasa di bulan Muharram.
Di atas sudah ada hadits riwayat Muslim no. 1982, yang maknanya bahwa puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Hadits ini bersifat mutlak, yakni puasa apa saja (tentunya yang sesuai sunnah) baik puasa Dawud, puasa senin kamis, puasa ayyaamul bidh yang dikerjakan pada bulan Muharram, maka nilainya lebih utama daripada puasa di bulan-bulan lain, kecuali puasa bulan Ramadhan.
Lalu bagaimana puasa pada hari Asy Syura (10 Muharram) dan puasa sehari sebelum dan sesudah hari Asy Syura?
Puasa 10 Muharram (asyura)
Ibnu Abbas berkata:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ , عَاشُورَاء
“Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari lain kecuali hari ini, yaitu Asyura.” (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari Asyura:
…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.
“… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.” (HR Muslim no. 1162/2746)
Puasa 9 Muharram
Ibnu Abbas meriwayatkan,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan (para sahabat) supaya berpuasa. Para sahabat berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani”, Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pada tahun depan insya Allah kita puasa tanggal 9”. Tetapi beliau wafat sebelum datangnya tahun berikutnya” (HR Muslim no. 1134/2666)
Dalam riwayat lain,
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Seandainya aku mendapati tahun depan, maka aku akan puasa tanggal 9. Tetapi beliau meninggal sebelum itu”(HR Muslim
Puasa 11 Muharram
Ada satu hadits yang disandarkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya” (HR. Ahmad & Al-Bazzar)
Imam Albaihaqi juga meriwayatkan hadits ini dengan lafadz:
صوموا قبله يوماً وبعده يوماً
“Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.”
Hadits ini memiliki jalur periwayatan dari Ibnu Abi Laila dari Daud bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ibnu Abbas Rodhiallohu ‘anhuma.
Al hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani memberikan komentar hadits ini:
رواه أحمد والبيهقي بسند ضعيف ، لضعف محمد بن أبي ليلى ، لكنه لم ينفرد به ، فقد تابعه عليه صالح بن أبي صالح بن حي
Hadist ini diriwayatkan Ahmad dan Al Baihaqi dengan sanad yang dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al albani dalam komentarnya (ta’liq) terhadap kitab Shahih Ibnu Khuzaimah juz 3 no. 290 mengatakan bahwa hadits ini lemah, karena ada perawi bernama Ibnu Abi Laila yang jelek hafalannya. Atha’ dan yang lainnya juga menyelisihi hadits ini.
Syu’aib Al Arnauth juga melemahkan hadits ini dalam kitab Ta’liqnya:
إسناده ضعيف، ابن أبي ليلى -واسمه محمد بن عبد الرحمن- سيىء الحفظ، وداود بن علي روى عنه جمع، وذكره ابن حبان في “الثقات”، وقال: يخطىء، وقال الإِمام الذهبي: وليس حديثه بحجة
“Sanadnya dhaif. Ada perawi Ibnu Abi Laila – namanya Muhammad bin Abdurrahman – hafalannya rusak. Sementara Daud bin Ali, beberapa ahli hadis meriwayatkan hadis darinya. Ibnu Hibban menyebutkan biografinya dalam kitab ats-Tsiqat, dan beliau berkomentar: Sering keliru.”
” Imam Adz Dzahabi juga berkomentar: Hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah.” (Ta’liq Musnad Ahmad, 4/52).
Para Ulama membolehkan puasa pada 11 Muharram dengan syarat tidak meyakini puasa 11 Muharram sebagai sunnah dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam secara khusus, karena haditsnya dha’if. Namun sebagai bagian dari anjuran memperbanyak puasa pada bulan Muharram
Sebagaimana perkataan Syaikh Al Albani dalam silsilah Al Huda Wa An Nuur:
أنه لا بأس بصيام اليوم الحادي عشر لا لخصوص نص و لكنه داخل في قوله صلى الله عليه و سلم:” أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر اللَّه الـمحرّم
Tidak mengapa puasa tanggal 11 Muharam, bukan karena hadits yang menyebutkan hal itu (puasa sehari setelah Asyura), namun karena termasuk dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Puasa terbaik setelah ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.”
Lalu manakah yang lebih dekat dengan kebenaran?
Tentang berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, sebagian ulama ada yang berpendapat makruh karena mendekati penyerupaan dengan orang Yahudi. Para ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Abbas, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Hanafi.
Wallahu a’laam, pendapat yang rajih tentang puasa pada 10 Muharram saja adalah tidak mengapa, karena memang demikian yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu masih hidup.
Adapun puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram adalah yang paling afdhol, karena menjalankan dua perintah sunnah sekaligus, yakni sunnah fi’liyyah (Nabi melaksanakan puasa 10 Muharram) dan sunnah qouliyyah (Nabi memerintahkan untuk puasa pada 9 Muharram pada tahun berikutnya, namun Beliau belum sempat menjalankannya karena wafat). Dan puasa pada 9 Muharram juga mengandung sunnah penyelisihan terhadap kaum Yahudi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memilih pendapat ini sebagaimana dalam Majmu Fataawa juz 25 hal. 313.
Sedangkan menambah puasa pada tanggal 11 Muharram, sudah kita ketahui bersama bahwa hadits yang menjadi sandaran adalah hadits lemah, sehingga tidak boleh menjadikan hadits tersebut sebagai hujjah untuk beramal. Ada yang beralasan bahwa puasa pada tanggal 11 untuk menghilangkan keraguan seandainya penetapan hari asy syura apakah tepat atau tidak karena sering terjadi perselisihan penentuan awal masuk bulan baru. Maka ini argumentasi yang sangat jauh dari kebenaran. Karena ibadah harus dengan nash yang jelas bukan dari persangkaan. Wallahu a’laam
Hadits-Hadits lemah Dan Palsu Seputar Puasa Dan Amalan Bulan Muharram
Hadits Pertama
لَيْسَ لِيَوْمٍ فَضْلٌ عَلَى يَوْمٍ فِي الصِّيَامِ إِلاَّ شَهْرُ رَمَضَانَ وَيَوْمُ عَاشُوْرَاء
“Tidak ada satu haripun yang memiliki keutamaan melebihi hari-hari yang lainnya dalam hal berpuasa kecuali bulan Ramadhan dan hari Asy syuro”. (HR Imam Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabiir XI/127 no. 11253)
Derajat hadits ini dho’ifun jiddan (sangat lemah), karena ada perawi bernama Abdul Jabbar bin Al ward. Ibnu Hibban berkata tentangnya, “dia sering salah dan keliru (wahm). Imam Bukhori berkomentar tentangnya, “dia menyelisihi pada sebagian hadits-haditsnya.”
Syaikh Al albani berkata, “hadits ini mungkar.” (Dho’if At-Targhib wa At-Tarhib I/155 no. 616, Silsilah Al Ahaadits Adh Dho’ifah 1/453 no. 285)
Hadits Kedua
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ كَانَ لَهُ كَفَّارَةَ سَنَتَيْنِ وَمَنْ صَامَ يَوْمًا مِنَ الْمُحَرَّمِ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلاَثُوْنَ يَوْمًا
“Barangsiapa berpuasa pada hari Arofah maka puasa itu akan menghapuskan (dosa-dosa) selama dua tahun. Dan barangsiapa yang berpuasa satu hari di bulan Muharram maka baginya dari setiap hari (bagaikan berpuasa) 30 hari”. (HR Ath-Thobaroni dalam Al-Mu’jamush Shoghir II/164 no.963).
Hadits ini derajatnya Maudhu’ (palsu).
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Ini adalah hadits PALSU (maudhu’).
Di dalam sanadnya ada dua orang perowi pendusta (pemalsu hadits), yaitu:
1. Sallam Ath-Thowil, seorang pendusta. Ibnu Khorrosy berkata tentangnya: “Dia seorang pendusta.”
Ibnu Hibban berkata tentangnya: “Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari para perowi yang tsiqoh (terpercaya/kredibel), dan sepertinya dia yang sengaja memalsukannya.”
Al-Hakim berkata tentangnya pula: “Dia meriwayatkan hadits-Hadits palsu.”
2. Al-Haitsam bin Habib, Imam Adz-Dzahabi mengatakannya sebagai orang yang meriwayatkan hadits bathil”. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah I/596 no.412, dan Dho’if At-Targhib wat Tarhib I/154 no. 615).
Hadits Ketiga
مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِيْ سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Barangsiapa yang melapangkan (nafkah) kepada keluarganya pada hari ‘Asyura, niscaya ia akan senantiasa dalam kelapangan (rizkinya) selama setahun itu”. (Ath-Thobrani X/77 no.10007, dan Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’abul Iman VIII/312 no.3635)
Derajat hadits ini dho’if (lemah).
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Hadits ini TIDAK SHOHIH.”
Berkata Syaikh Al-Albani, “Hadits ini DHO’IF (Lemah)”. (Lihat tahqiq beliau terhadap Misykat Al-Mashobih, I/434 no.1926).
Di dalam sanadnya ada seorang perowi yang majhul (tidak dikenal), yaitu: Al-Haishom bin Asy-Syuddakh.
Berkata Al-‘Uqoili, “Al-Haishom adalah perowi yang majhul, dan hadits ini tidak mahfuzh.”
Berkata Ibnu Hibban, “Al-Haishom meriwayatkan hal-hal yang aneh dan berbahaya, tidak boleh berhujjah dengannya.”
Ibnul Qoyyim menyebutkan hadits ini juga dalam Al-Manar Al-Munif Fi Ash-Shohih wa Adh-Dho’if, I/111 no.223, dan Asy-Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, I/98 no.37).
Hadits Keempat
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً
“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kafarat/tertutup dosanya selama 50 tahun.”
(Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhu’at II/566, Ay-Syaukani dalam Al-Fawa-id Al-Majmu’ah I/96 no.31).
Derajat hadits ini Maudhu’ (palsu)
Terdapat dua perowi pendusta dan pemalsu hadits, yaitu Al-Harwi Al-juwaibari dan Wahb.
* Ibnul Jauzi berkata,”keduanya adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits”. (Lihat Al-Mawdhu’at II/566).
*Asy-Syaukani berkata tentang hadits ini: “Di dalam hadits ini ada dua perawi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.” (lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah I/96 no.31).
Sebagian kaum muslimin menjadikan hadits ini sebagai sandaran untuk mengkhususkan melakukan amalan puasa dan ibadah lainnya seperti dzikir berjama’ah, dzikir menyambut tahun baru hijriyah, qiyamul lail, bersedekah, membaca Al-Qur’an dan lain-lain pada awal dan akhir tahun Hijriyah. Padahal hadits yang menjadi sandarannya derajatnya sangat lemah, bahkan palsu.
Hadits Kelima
مَنْ صَامَ تِسْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الْمُحَرَّمِ بَنَى الله ُلَهُ قُبَّةً فِي الْهَوَى مِيْلاً فِيْ مِيْلٍ لَهَا أَرْبَعَةُ أَبْوَاب
“Barangsiapa berpuasa Sembilan hari dari hari pertama bulan Muharram, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah kubah di udara seluas satu mil dikali satu mil. Kubah tersebut memiliki empat pintu.” (Ibnul jauzi dalam kitab Al-Maudhu’aat juz II/199).
Hadits ini derajatnya Maudhu’ (Palsu).
Sanadnya ada seorang perowi yang Musa Ath-Thowil, dia seorang pendusta (pemalsu hadits).
Berkata Ibnu Hibban, “Musa Ath-Thowil meriwayatkan hadits-hadits palsu dari Anas (bin Malik radhiyallahu anhu). Tidak diperbolehkan mencatat hadits-haditsnya kecuali untuk mengingkarinya.”
Berkata Ibnu ‘Adi berkata tentangnya, “dia meriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu hadits-hadits mungkar, dan dia juga seorang perowi yang majhul (tidak dikenal jati dirinya).” (Lihat Mizan Al-I’tidal, karya imam Adz-Dzahabi no.8888).
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim Di Bulan Muharram
Sebagian kaum muslimin berkeyakinan bahwa bulan Muharram adalah bulannya anak yatim. Mereka meyakini bahwa menyantuni anak yatim di bulan Muharram mempunyai keutamaan yang besar.
Mereka berpedoman kepada satu hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
من مسح يده على رأس يتيم يوم عاشوراء رفع الله تعالى بكل شعرة درجة
“Barang siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (tanggal 10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yang diusap satu derajat.”
Akan tetapi, derajat hadits ini ternyata Palsu (Maudhu’). Di dalam sanadanya ada seorang perawi bernama Habib bin Abi habib. Para ulama ahli hadits banyak yang menyatakan perawi ini Matruk.
Berikut komentar para ulama hadits tentang Habib bin Abi Habib:
- Imam Ahmad: Dia pernah berdusta
- Imam Adz dzahabi: Dia tertuduh berdusta (Talkish kitab Al Maudhu’at 207)
- Imam Ibnu ady: Dia pernah memalsukan hadits (Al Maudhu’at 2/203)
Imam Abu Hatim mengatakan tentang hadits ini, “Ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya.” (Al Maudhu’at 2/203).
Penjelasan ini bukan berarti mengingkari amalan menyantuni anak yatim. Sama sekali bukan. Karena menyantuni anak yatim adalah suatu amalan yang sangat mulia, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِى الْجَنَّةِ , وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى , وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا قَلِيلاً
“Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim seperti dua jari ini ketika di surga.” Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan beliau memisahkannya sedikit.” (HR. Bukhari no. 5304)
Namun hadits ini bersifat umum tanpa membatasi dengan waktu dan tempat, kapan saja dan di mana saja. Sedangkan mengkhususkan suatu amal dengan waktu tertentu membutuhkan dalil yang shahih. Jadi Menyantuni anak yatim kita lakukan kapan saja, tidak hanya pada bulan Muharram atau hari asyura.
Penutup
Bulan Muharram adalah bulan yang memiliki keutamaan yang sangat besar sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Barang siapa yang beramal kebaikan pada bulan ini, Alloh balas dengan kebaikan yang besar. Begitu juga sebaliknya, barang siapa yang melanggar larangan Alloh di bulan haram ini, Alloh menjadikan perbuatan dosanya lebih besar.
Semoga dengan memahami keutamaan bulan Muharram, dalil-dalil dan amalan yang sesuai sunnah pada bulan Muharram ini, kita bisa mendulang pahala yang besar dan terhindar dari kesia-siaan amalan, apalagi terjerumus kepada amalan bid’ah dan kesyirikan.
Wallohu a’laam.